Selasa, 21 Agustus 2012

"ONANG-ONANG DALAM UPACARA ADAT 2"

#SELAMAT MALAM TAPANULI#
(Mangaligi fungsi oang-onang dalam upacara adat perkawinan)
______________________________________________________

Para kawan...! Berikut sambungannya :

b. Pelaksanaan Adat Nagodang
 Dalam pelaksanaan upacara adat nagodang ini, ada beberapa tahapan yang
harus dilaksanakan yaitu :
1. Martahi (musyawarah secara adat) sebanyak tiga kali
2. Upacara Mangkobar (pinangan guna dijadikan istri)
3. Upacara Pabuat Boru (mengambil pengantin perempuan)
4. Upacara Panaekkon Gondang (menaikkan seperangkatan gendang) yaitu
permintaan untuk memulai upacara adat perkawinan.

5. Upacara Manipolkon kosa, Manipolkan artinya ?memotong? atau ?mematahkan?
hosa artinya ?nyawa?. Manipolkan hosa artinya penyembelihan kerbau serta
diiringi dengan gendang.

6. Upacara Penyambutan Indahan Tukkus Pasaerobu artinya : makanan yang
dibungkus dan dibuat oleh pihak perempuan atau mora yang ?baru? untuk
diserahkan kepada pihak pengantin laki-laki. Ini juga diiringi dengan gondang
dan tortor suhut sihabolonan.

7. Upacara Maralok-alok yaitu berbincang-bincang/musyawarah tentang pembagian
tugas dan tehnik pelaksanaan upacara adat nagodang pada hari puncak upacara
perkawinan.

8. Gondang dan Tortor Adat. Setiap penampilan gondang disertai dengan tortornya
kecuali gondang mula-mula (pembukaan) dan gondang susur (penutup). Dalam
penampilan gondang dan tortor ini pun mempunyai aturan tertentu serta urutan
yang tertentu.

9. Upacara Mata ni Karejo artinya ?puncak upacara? dalam pelaksanaan upacara
adat perkawinan. Beberapa tahapan yang dilaksanakan ialah sebagai berikut :
a. Gondang dan Tortor karajaon (sebelum acara agama)
b. Upacara penyambutan Mora (sesudah acara keagamaan)
c. Upacara Patuaekkon tu Tapian Raya Bangunan yaitu membawa kedua
pengantin ke sungai/pancuran untuk membersihkan diri dalam rangka
perpindahan status muda-mudi kepada orang tua.
d. Upacara pemberian upa-upa yaitu memberi makanan kepada pengantin
e. Menabalkan Goar yaitu pemberian nama baru kepada kedua pengantin dan
keluarga terdekat.
f. Gondang dan Tortor Adat secara berurutan dan bersama kedua pengantin.
Demikianlah secara garis besar gambaran umum pelaksanaan upacara adat
perkawinan Batak Angkola yang berlaku selama ini hingga hari ini.
 2.1 Gondang
Seperangkat gondang Angkola yang lengkap terdiri dari :
a. gondang inang atau disebut juga gondang siayakon
b. gondang pangayak
c. ogung jantan
d. ogung betina
e. tali sayat
f. doal
g. suling
h. onang-onang
dari semua gondang ni hanya dibahas dalam bagian ini tentang onang-onang.

ONANG-ONANG

 Onang-onang tidak dapat diartikan secara harafiah, namun beberapa sumber
mengatakan bahwa asal kata onang adalah inang yang artinya ?ibu?. Menurut
informasi yang diperoleh dari Pangeran Ritonga, kisah terjadinya onang-onang
adalah sebagai berikut:

 Pada suatu ketika ada seorang yang sedang merantau dan sedang
mendapatkan suatu kesusahan. Ia ingin pulang tetapi biaya tidak ada, sedangkan
kerinduan hatinya tidak tertahan lagi. Pada saat kerinduan itu muncul, yang
diingatnya adalah orang yang dikasihinya, yaitu ibu dan kekasihnya. Untuk
melepaskan kerinduannya itu ia cetuskan lewat suatu nyanyian dengan kata
?onang?onang?. Dengan demikian mulanya onang-onang adalah ?suatu pencetusan
perasaan kerinduan hati terhadap yang dikasihinya, yaitu ibu dan kekasihnya?.

Menurut analisa maka lama kelamaan onang-onang ini berkembang
pengertiannya, ia tidak hanya merupakan pencetusan kerinduan hati kepada ibu dan
kekasinya, akan tetapi ia dipergunakan juga dalam suasana gembira. Misalnya:
upacara perkawinan, memasuki rumah baru, dan anak lahir. Kalau dahulu onang-
onang dinyanyikan oleh seseorang untuk dirinya sendiri, saat sekarang ada juga
(bahkan pada umumnya) onang-onang dinyanyikan untuk orang banyak (dalam
suasana gembira). Sehingga pada saat sekarang ini ada dua pembagian nyanyian
onang-onang : (1) onang-onang yang dilaksanakan oleh seseorang untuk dirinya
sendiri dalam mengungkapkan perasaan hatinya dan (2) onang-onang yang
ditampilkan dalam upacara adat, yakni upacara perkawinan, memasuki rumah baru,
dan anak lahir.

Untuk orang yang menyanyikan onang-onang dalam upacara adat disebut
dengan paronang-onang, yang artinya penyanyi.
Setiap paronang-onang terlebih dahulu harus mengetahui maksud dan tujuan
pelaksanaan upacara tersebut. Selain itu ia juga harus tahu kepada siapa nyanyian
itu ditujukan, agar paronang-onang dapat menyesuaikan isi dan syair lagu yang
dinyanyikannya. Misalnya, dalam upacara perkawinan, gondang yang pertama
adalah Gondang Suhut Sihabolonan, maka paronang-onang harus menyesuaikan isi
onang-onang tersebut sesuai dengan upacara perkawinan tersebut dan latar
belakang kehidupan suhut sihabolonan. Oleh sebab itu syair onang-onang tidak
mempunyai teks yang pasti, melainkan diciptakan oleh paronang-onang secara
spontan.


Semua syair-syairnya hampir semua diciptakan dalam bentuk pantun.
Setiap paronang-onang tentu berbeda dalam menciptakan versi pantunnya,
semakin kaya perbendaharaan pantun yang di kuasai paronang-onang akan semakin
baik pula pantun yang dipergunakan dalam nyanyiannya. Panjang lagu onang-onang
tidak ditentukan waktunya, ini tergantung kepada paronang-onang itu sendiri, juga
melihat stuasi waktu yang disediakan dalam upacara ini.
Isi nyanyian onang-onang yang dipergunankan dalam ansambel gondang ada
enam macam, yakni : (1) pembukaan, (2) penjelasan maksud upacara, (3) cerita
latar belakang panortor, (4) pujian, (5) nasehat, dan (6) doa.

Pada nyanyian onang-onang terdapat bait-bait kata pembukaan, sebagai
pemberitahuan kepada kerabat yang hadir bahwa acara penampilan onang-onang
(gondang) mulai dibuka atau ditampilkan. Oleh karena itu bagian pembukaan ini
hanya ditampilkan satu kali saja yakni pada onang-onang yang mengiringi Gondang
Suhut Sihabolonan, yang merupakan gondang pertama dari setiap penampilan
gondang. Paronang-onang menyampaikan kata pembukaan ini kepada seluruh
kerabat yang hadir dan juga kepada orang yang menortor. Dalam isi pembukaan
tersebut paronang-onang biasanya menyampaikan suatu pesan yang ditujukan
kepada masyarakat Angkola umumnya, dan khusunya pada kerabat yang hadir pada
saat upacara itu, agar tetap mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam
musik gondang, baik dari aturan penampilannya maupun dari maknanya.

Selanjutnya melalui paronang-onang pihak tersebut akan menyampaikan kata-kata
maaf dan sembah hormat kepada pihak mora, harajaon, hatobangon, raja adat,
penusunan bulung, dan kepada seluruh kerabat yang hadir, apabila nanti ada
kekeliruan atau kesilapan di dalam penampilan gondang dan pelaksanaan upacara
tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat pada syair onang-onang di bawah ini, yakni
sebuah transkripsi bagian I dari Gondang Suhut Sihabolonan.
Gondang Suhut Sihabolonan


Ile onang baya onang
tapuka ma le tajolo mulai on
nda asok ma jolo le fikiri ada
ulang nda maruba nian ale luai on
sian najolo indu nda sannari on

Santabi nda jolo sappulu on
sappulu noli marsatabi on
tu jolo na dua le tolu on
lobi nda tarpasangapi on
ois nda taronang ale baya onang
----------------------------
Ile onang baya onang
mulailah kita buka dulu ini
pelan-pelanlah kita pikiri
janganlah hendaknya ada berubah
dari dahulu sampai sekarang

Maaf terlebih dahulu sepuluh kali maaf
Sepuluh kali mohon maaf
Ke hadapan dua tiga (seluruh kerabat yang hadir)
Terlebih-lebih kehadapan yang dihormati
Ois nda taronang ale baya onang

Onang-onang juga berisikan syair-syair yang merupakan penjelasan maksud
upacara, yang ditujukan kepada kerabat yang hadir. Apabila ditinjau dari kata yang
terdapat pada bagian ini, maka paronang-onang berperan sebagai penyambung lidah
panortor (suhut sihabolonan) guna menjelaskan maksud dari upacara tersebut,
sehingga dari isi bagian ini orang dapat lebih banyak mengetahui tentang maksud
upacara yang sedang dilaksanakan. Paronang-onang dalam menyampaikan
penjelasan tersebut, sudah tentu akan menyesuaikan syairnya dengan upacara yang
sedang dilaksanakan. Misalnya, dalam upacara perkawinan paronang-onang akan
menjelaskan bahwa pelaksanaan upacara itu adalah untuk menyambut menantu
perempuan mereka. Dalam penjelasan tersebut paronang-onang akan menceritakan
pula identitas dari masing-masing pengantin, seperti pengantin itu berasal dari
marga apa, anak nomor berapa, dan tempat tinggalnya dimana. Isi bagian syair ini
selalu ditampilkan pada setiap onang-onang. Contoh di bawah ini adalah transkripsi
bagian II dari Gondang Suhut Sihabolonan, dan bagian III dan IV dari Godang Suhut
Inanta Sori Pada.

Para kawan....! Selamat malam...(Bersambung ke...)

"MERAH PUTIH"

"SELAMAT MALAM TAPANULI"
(Mangaligi Sejarah ni Bendera Merah Putih) ________________________________________________

Para kawan...! Warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan cuma–cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam perkembangan Bangsa Indonesia. Demikian info sejarahnya, semoga menambah pengetahuan bagi kita :


1. Pada zaman Aditya Candra. Aditya berarti matahari dan Candra berarti
bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara, namun
juga di seluruh Kepulauan Austronesia, di Samudra Hindia, dan Pasifik.

Pada Zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian
bagi setiap makhluk hidup yaitu getah-getih. Getah-getih yang menjiwai
segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih.

2. Pada permulaan masehi selama 2 abad, rakyat di Kepulauan Nusantara :

- Di Pulau Bali gendering disebut Neka ra Bulan Pajeng yang disimpan
dalam pura. Pada nekara tersebut diantaranya terdapat lukisan orang menari
dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung.

- Demikian juga di Gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan
berupa waruga dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang
seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki Gunung
Dompu.

3. Pada abad VII di Nusantara dindingnya candi brobudur terdapat “pataka”
di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih
sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim digunakan dalam
kitab jawa kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang terdapat pada
Candi Borobuur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan
dengan warna merah putih. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga
terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah
(api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih.
Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal
warna merah dan putih.

Prabu Erlangga, digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu Burung
Garuda yang juga dikenal sebagau burung merah putih. Denikian juga pada
tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya
menyebut dirinya sebagai gelar Garuda Muka, maka sejak masa itu warna
merah putih maupun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati Rakyat
Indonesia.

4. Kerajaan Singosari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292 setelah Kerajaan
Kediri, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan
pemberontakan melawan Kerajaan Singosari di bawah tampuk kekuasaan Raja
Kertanegara sudah menggunakan bendera merah – putih , tepatnya sekitar
tahun 1292.

Pada saat itu tentara Singosari sedang dikirim ke Semenanjung
Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya
dengan mengibarkan panji – panji berwarna merah putih dan gamelan kearah
selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan
Pasukan Singosari, padahal pasukan Singosari yang terbaik dipusatkan
untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan.

Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan
nama Piagam Butak. Butak adalah nama gunung tempat ditemukannya piagam
tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto. Pasukan Singosari
dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu
Kertanegara). R. Wijaya memperoleh hadiah sebidang tanah di Desa Tarik,
12 km sebelah timur Mojokerto.

Berkibarlah warna merah – putih sebagai bendera pada tahun
1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan piagam merah – putih,
namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang
Runtuhnya Singosari serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit dan pada
zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Ciwaisme dengan Budhisme.

5. Demikian perkembangan selanjutnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit,
menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara
Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan
perak=putih). Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya
juga disebut sebagai keraton merah – putih, sebab tembok yang melingkari
kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna
putih.

Empu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang
digunakannya warna merah – putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk.
Kereta pembesar – pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah –
putih, seperti yang dikendarai oleh Putri raja Lasem. Kereta putri Daha
digambari buah maja warna merah dengan dasar putih, maka dapat disimpulkan
bahwa zaman Majapahit warna merah – putih sudah merupakan warna yang
dianggap mulia dan diagungkan.

Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan
bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian
belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang
serta beberapa ayat suci Al Quran.

Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di
Negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah – putih
yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul
Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat
kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.

Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah
pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa
Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang di
tengahnya bergambar banteng.

Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah
dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani
dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala
kegiatan yang bersifat kebangsaan.
Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu,
karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya
kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan 
Congres Pemoeda – Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :

Pertama :
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua :
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA
MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA
INDONESIA

Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah – putih
tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan dan untuk
pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Para kawan...! Demikian sejarahnya. Selamat malam...!